skip to main |
skip to sidebar
Saat makanan menjadi kehilangan rasa, apalagi yang bisa menebus kehilangan rasa itu?
Bukannya mau bersikap pesimistis, namun penggemar rasa pedas kini sedikit berduka karena harga cabai menjulang tinggi sekali, bisa mencapai Rp140.000 sekilogram!
"Mau apa lagi? Kalau mau rasa pedasnya seperti biasa pembeli harus bayar lebih. Jadi terpaksa tambah lada sedikit atau campur bawang putih. Cabai rawit di Pasar Badung sudah Rp85.000 sekilo," kata Seno, penjaja bebek goreng, ayam goreng, dan pecel lele di depan RS Puri Bunda, Denpasar.
Jurus Seno dan ketiga temannya mengakali rasa pedas di warung tendanya cukup jitu.
Ulekan lada dipadu bawang merah dan tomat mengoplos cabe sudah cukup mengobati kerinduan para pecinta rasa pedas walau tidak mungkin menyamai rasa pedasnya cabai asli.
Berjualan semalam dari petang hari, Seno perlu tiga kilogram cabai keriting dan satu kilogram cabai rawit. Hingga Agustus tahun lalu, modalnya untuk membeli pengobat rindu penggemar rasa pedas itu masih terjangkau. "Sekarang? wah, tidak sanggup lagi. Kok bisa mahal sekali ya?," kata pemuda asal Banjarnegara, Jawa Tengah itu.
Juni 2010, katanya, harga cabai segala jenis mulai merangkak naik dari Rp20.000 menjadi Rp25.000 per kilogram. Sejak itu harga tidak pernah turun lagi dan menjadi lebih parah dengan "rekor" sampai Rp100.000 per kilogram, sebab hujan lebat tiada putus membuat cabai busuk di kebun-kebun petani.
Cerita sama juga dikatakan Johny, pemilik Manado 88, satu rumah makan masakan Manado terkenal di Bali. Siapa yang tidak paham rasa pedas hampir semua jenis menu makanan asli Manado? "Keadaan cukup sulit untuk bisa seperti dulu lagi. Kami juga sulit menaikkan harga masakan lebih tinggi lagi," kata lelaki yang telah puluhan tahun merantau di Bali itu.
Ironis, Bali yang berpenduduk empat juta jiwa dan dianugerahi tanah sangat subur juga kelimpahan air, namun senantiasa kekurangan bahan pangan terutama sayuran dan buah-buahan. Itu sebabnya banyak sekali komoditas hortikultura itu harus diseberangkan dari Pulau Jawa.
Akan halnya kenaikan harga cabai (Capsicum annuum, Linneaeus) itu terjadi di Kalimantan, yang diberitakan mencapai Rp140.000 per kilogram, mungkin orang bisa memaklumi karena kualitas kesuburan tanah dan ketersediaan air di sana tidak sebaik di Pulau Jawa atau Pulau Bali.
Manusia diberi akal-budi untuk bisa bertahan hidup dan itu juga yang terjadi untuk menyiasati kenaikan harga cabai. Di Pasar Badung dan Pasar Kereneng, Denpasar, sebagaimana juga terjadi di Pasar Gianyar, cabai-cabai hampir busuk yang biasanya tidak dilirik kini laku keras.
Harga cabai oplosan dengan yang hampir busuk itu juga masih lumayan mahal, antara Rp40.000 dan Rp80.000 sekilogram. "Mau apa lagi? Yang penting murah dan tidak bikin sakit perut," kata Seno.
Begitulah cerita tentang cabai di Tanah Air yang katanya kaya-raya, tempat di mana tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Sejak belasan tahun lalu, hampir setiap hari raya agama atau musim hujan, harga komoditas hortikultura selalu bergerak naik dengan banyak alasan, mulai dari busuk di kebun, angkutan tidak lancar, sampai aksi ambil untung secara keterlaluan oleh spekulan.
Cabai mengandung asam kapsikum yang menciptakan rasa pedas di lidah bagian tengah. Kandungan asam kapsikum yang juga bisa meningkatkan produksi asam lambung di perut manusia ini, paling banyak terdapat di bagian bijinya dan bukan pada kulit buah atau tangkai buahnya.
Semakin tua cabai itu didukung lingkungan cukup kering, maka kandungan asam kapsikum di dalam bijinya semakin meningkat; hal ini penyebab cabai rawit asal NTT lebih pedas ketimbang rekannya asal Jawa Barat.
Kandungan asam organik tanaman yang satu keluarga dengan kentang itu juga berpelurus kandungan asam askorbat yang bahan utama vitamin C.
Kini rasa pedas cabai itu semakin menggigit karena kenaikan harga cabai di pasar tradisional secara nasional ikut memicu kenaikan laju inflasi pada saat pemerintah pusat tengah berbangga hati tingkat pertumbuhan ekonomi meningkat. Kalau tidak segera diatasi bisa membuat "sakit perut" pemerintah dan rakyat Indonesia.
Terdapat satu aliran asumsi pengamatan kemakmuran satu masyarakat, yaitu dengan mengamati secara langsung tingkat kemakmuran itu di kalangan masyarakat menengah-bawah. Biasanya, kelas masyarakat inilah yang mengisi lebih dari dua pertiga populasi suatu negara, tidak ubahnya di Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) mempunyai risalah ilmiah tersendiri soal kenaikan harga cabai ini, yang mencatat kenaikan harga cabai dan beras selama Juni 2010 telah mendorong kenaikan inflasi bulan itu hingga mendekati satu persen.
"Harga cabai merah naik 45,7 persen selama Juni 2010 dibandingkan Mei 2010 dengan bobot 0,69 persen dalam inflasi total, jadi menyumbang 0,26 persen atau tertinggi sumbangannya dalam inflasi Juni 2010 yang 0,97 persen," kata Kepala BPS, Rusman Heriawan, di Jakarta, beberapa masa lalu.
BPS mencatat inflasi pada Juni 2010 sebesar 0,97 persen, yang jika diurut mundur hingga Januari 2010 mencapai 2,42 persen sementara periode yang sama tahun sebelumnya mencapai besaran 5,05 persen. Heriawan menjelaskan, beras mengalami kenaikan harga sebesar 2,67 persen selama Juni dibandingkan Mei 2010, namun pengaruhnya perhadap inflasi cukup besar yaitu 4,42 persen.
Sumbangan kenaikan harga beras terhadap inflasi sebesar 0,13 persen dari inflasi total Juni yang sebesar 0,97 persen. "Tidak ada satupun kelompok harga yang mengalami deflasi," katanya.
Inflasi tertinggi terjadi pada kelompok bahan makanan yaitu 3,2 persen, kedua makaanan jadi, minuman dan rokok sebesar 0,41 persen, perumahan, air, dan listrik 0,23 persen meski Tarif Dasar Listrik (saat itu) belum dinaikkan.
Saat mengumumkan hal ini, BPS memperkirakan target inflasi 2010 yang dipatok pemerintah dan Bank Indonesia meleset, dengan target inflasi selama 2010 sekitar lima persen plus-minus satu persen. "Inflasi ini di atas target BI sebesar lima persen plus-minus satu," kata Heriawan di Jakarta, menjelan akhir tahun 2010 lalu.
Jika pada semester perdana 2010 inflasi tercatat 2,42 persen, maka selama 11 bulan pertama 2010, angka itu meningkat hingga ke angka 5,98 persen dan "year on year" mencapai 6,96 persen. Bahkan, untuk November saja, laju inflasi telah mengejutkan bank sentral, yang diakui Gubernur Bank Indonesia, Darmin Nasution, semula inflasi November diperkirakan di bawah 0,5 persen, ternyata malah 0,6 persen.
Khusus untuk harga cabai, ternyata sayuran pedas ini memberi sumbangan signifikan terhadap laju inflai pada Desember 2010 lalu. "Sampai 0,33 persen," kata Heriawan.
Wakil Menteri Pertanian, Bayu Krisnamurthi, berkomentar tentang hal itu yang dikatakan dia sebagai hal biasa. "Cabai merupakan barang pokok yang dikonsumsi masyarakat Indonesia dan tidak bisa disimpan lama. Kalau musim hujan, produksi turun, dan mudah busuk. Ini kasihan petaninya, baru senang sedikit sudah hujan," katanya.
Namun bagi Seno dan banyak sekali warga lain Indonesia, harga barang-barang yang melambung terlalu tinggi dan tidak terjangkau, makin menjerat kehidupan mereka. "Jangan mikir punya tabungan sekarang ini, bisa sedikit di atas modal saja sudah bagus," katanya.
Seno, sebagaimana halnya Johnny sebetulnya membantu tugas pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat. Walau digolongkan ke dalam kelas usaha gurem yang dihaluskan menjadi mikro, namun secara swadaya dengan tidak menikmati suntikan Kredit Usaha Rakyat dari bank, mereka bisa melaksanakan aktivitas ekonomi yang memberi efek pengganda tertentu kepada lingkungannya.
Kenaikan harga barang-barang jelas menjadi hal sangat sentitif bagi rakyat. Rakyat memakai logikanya sendiri dan memberi penilaian sangat sederhana kepada keberhasilan satu pemerintahan negara, yaitu kenaikan harga barang sebagai ukuran.
Bukankah hal-hal seperti ini, mulai dari arus mudik, musim liburan, jemaah haji, dan lain sebagainya selalu berulang dengan pola mirip dari tahun ke tahun?
Oleh Ade P Marboen
Sumber : kompas.com dipost kembali oleh http://myquran.com/forum/showthread.php/22840-Kenapa-Harga-Cabe-bisa-mempengaruhi-inflasi-dan-semakin-mahal
0 komentar:
Posting Komentar